ALYSSANDRA NAYLA NINDIRA


chapter one


"Until you lived her past, you will never appreciate the beautiful way she handles her scars."

Albert Alexander Bukoski

She had been through battle.


The past.

Januari 2015


Ibunda Farhan menatap Nayla lekat-lekat sembari menggenggam tangan kanannya, "Nayla, kamu tidak mau untuk sepenuhnya mengurus Farhan dan Naura?"

Sepenuhnya mengurus Farhan dan Naura. Sepenuhnya.

Nayla tahu betul apa maksud dari kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh ibu mertuanya. Bukan hanya kali ini, ibu mertuanya sudah berkali-kali menanyakan hal yang memiliki maksud sama dengan pertanyaan kali ini. Biasanya, setelah bertemu dengan ibu mertuanya yang selalu bertanya akan hal tersebut, kalimat itu akan terbayang dalam benak Nayla selama kurang lebih dua minggu. Hal tersebut berlangsung terus menerus.

Ohiya, maksud dari pertanyaan tersebut, ya?

Maksud dibalik pertanyaan tersebut adalah bahwa ibu mertuanya menginginkan untuk Nayla berhenti dari pekerjaannya sekarang. Pekerjaan yang amat sangat menyita waktunya pada waktu-waktu tertentu. Dengan kata lain, mertuanya ingin untuk Nayla berhenti dengan segala kesibukannya dan mulai fokus hanya pada keluarga kecilnya.

Ingin sekali rasanya Nayla berteriak tepat dihadapan Ibu—begitu biasanya ia memanggil ibu mertuanya, dengan suara lantang terkait jawaban yang sebenarnya tidak usah ia pikirkan untuk menjawabnya. Yaitu, tidak akan bisa. I love what I am doing right now.

Apakah saat seorang perempuan menjadi seorang istri dan ibu, lantas ia harus melepaskan semua impian yang dimiliki dan hal-hal yang ia cintai sebelum ia menyandang kedua status tersebut?

Kedua ujung bibirnya terangkat membuat sebuah senyum yang hanya ditujukan pada Ibu.

"Nayla pikir-pikir dulu, ya, Ibu."

Selalu saja kalimat itu yang keluar dari mulutnya setiap kali Ibu bertanya.


Desember 2014


Nayla menghempaskan dirinya pada sofa yang terletak di ruang tamu rumahnya. Lampu sudah padam yang menandakan Farhan telah pulang rumah terlebih dulu darinya dan kemungkinan suaminya sudah tidur terlebih dulu. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tiga dini hari.

"Ya, of course. Sudah pulang duluan lah dia. Ternyata udah jam segini," ucap Nayla pelan.

Bukannya segera menuju kamarnya untuk membersihkan diri terlebih dulu dan melihat Naura—yang menurutnya tertidur karena tidak ada suara tangisan, Nayla memejamkan matanya sejenak, lengkap masih dengan pakaian kantor dan stiletto yang belum ia lepas.

Ia merasakan adanya seseorang yang menururni tangga dengan langkah perlahan yang membuatnya membuka matanya. Nayla menengok ke belakang dan dilihatnya Farhan sedang menuruni tangga menuju lantai satu.

"Baru banget balik?" Tanyanya dengan nada ketus.

Here we come again. "Iya, baru saja aku pulang."

Nayla tahu bahwa pekerjaannya menyita waktu untuk bersama dengan Farhan dan buah hati kecilnya. Terkadang, pekerjaan yang dimiliki baik Nayla atau Farhan membuat kedua jarang untuk bertemu. Komunikasi antar keduanya hanya sebatas mengenai Naura saja.

"Kapan mau resign?"

"Bahas ini nanti aja, ya. Aku capek." Nayla bersandar pada sandaran sofa, memejamkan matanya kembali sembari memijat pelan dahinya.

"Aku bisa urus biaya hidup kamu, Naura, bahkan dengan Mama kamu. Nunggu apalagi? I make enough money for us."

"Bukan uang perkaranya. Udah aku bilang berapa kali? I can't just to give up on my career like this. Aku suka dengan apa yang aku kerjakan sekarang. Ini pencapaianku dan I really love it. Kamu kenapa nggak selalu bisa untuk support?"

"The kid is at risk. Aku memang harus pulang malam karena kerja dan juga memang wajar karena aku harus cari nafkah untuk keluarga ini. Kamu? Peran kamu sebagai ibu dari Naura mana kalau terus-terusan saja pekerjaan yang jadi nomor satu?"

Nayla hanya bisa terdiam. Ia berharap Farhan untuk segera menarik ucapannya perihal dirinya yang tidak berperan sebagai ibu dari Naura. "Bahas lagi nanti," ucap Nayla singkat. Ia berdiri dari duduknya, meraih tas miliknya dan hendak menuju ke lantai dua saat Farhan menahannya.

"Ya jelas kita nggak pernah bisa punya jalan keluar kalau kamu selalu bilang nanti nanti dan nanti. Akhir-akhir ini selalu saja pulang jam tiga, bahkan weekends juga masih masuk? Tau nggak? Kasihan Naura!"

Untuk ke-berapa kalinya, Nayla hanya bisa memejamkan matanya dan menerima semua perkataan yang dilontarkan oleh suaminya. "Ini lagi peak season, makanya sibuk banget. You know how auditors work. Lagian kamu kenapa, sih? Kamu nggak bisa ya juga ikut bantu jagain Naura selagi aku di kantor? Naura itu juga anak kamu!"

Farhan hendak membuka mulutnya untuk membalas perkataan Nayla, tetapi Nayla belum selesai dengan perkataannya dan tetap melanjutkannya. "Kamu juga sering pulang malam dan jarang ada waktu dengan aku atau Naura. Jangan cuma salahnya ada di aku. Naura itu anak kita, bukan cuma anak aku atau anak kamu. Nggak bisa, ya, kita itu kerja sama? Saat aku sibuk kamu tolong banget bantuin aku dengan Naura."

"Iya tapi masalahnya kamu sibuk terus, Nay!" Farhan menaikkan suaranya yang membuat mata Nayla sedikit melebar. Farhan bukan merupakan tipe orang yang berbicara dengan nada yang seperti saat ini. "Nggak tau tuh beneran kerja atau malah main," lanjut Farhan.

Kalimat terkahir yang dikatakan Farhan dengan nada yang sangat pelan dan nyaris seperti bisikan tersebut entah mengapa terdengar amat sangat keras dalam telinga Nayla. Tangan kanan Nayla memegang erat tas miliknya sementara tangan kirinya mengepal, menahan agar tidak menampar laki-laki yang ada di hadapannya saat ini.

"Gila lo, sumpah." Tepat setelah Nayla berkata demikian, tetap masih dengan stiletto-nya, ia berjalan melewati Farhan dan menuju kamar yang berada di lantai dua.

Rasa ingin marah dan menangis menjadi satu.


chapter two


"I always think of you before I fall asleep. The words you said, the way you looked. The silent moments we shared. And when I dream, I will dream of you."

Because it is about you, it is always about you.


The fall.

November 2011


When everything seems fall into places and perfect, that is when you got to worry something is bound to happen. Anytime soon.

Lima tahun berlalu dan Nayla kembali ke Jakarta setelah usai menempuh pendidikannya. Tiga tahun pertama ia habiskan di Yogyakarta, Indonesia, satu tahun di Belanda dan setelah itu ia kembali untuk menyelesaikan studinya di Yogyakarta, tepatnya di Universitas Gadjah Mada.

Hal yang seorang anak amat sangat takutkan, tiba. Kali ini Nayla memahami bagaimana rasanya kehilangan sosok ayah dalam hidupnya.

Hancur? Tentu pasti.

Seketika Nayla membenci dirinya sendiri. Ia membenci egonya yang dulu sangat ingin sekali untuk hidup mandiri dan jauh dengan orang tua, hanya untuk dapat merasakan bagaimana rasanya hidup sendiri. Nayla sangat membenci dirinya sendiri, terutama dengan keputusan yang telah ia ambil. Penyesalan memang datang di akhir.

"Kamu anak gadis Ayah satu-satunya. Kuliah di Jakarta saja."

"Kalau tinggal dengan Ayah dan Bunda terus, kapan nanti Nayla bisa mandirinya, Ayah?"

"Mandiri itu kan nggak harus diukur atau diartikan dengan tinggal sendiri, Nayla."

"Ah, Ayah," Nayla menjawabnya dengan nada layaknya orang yang kecewa dengan Ayahnya. "Pasti selalu begitu."

Andai ia bisa mengabulkan permintaan sang Ayah untuk tetap tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. Yang ada hanyalah penyesalan dan pengandaian. Menyesal dengan sedikitnya waktu yang ia miliki bersama Ayah dan membayangkan bagaimana jika Nayla menuruti apa kata Ayahnya.

"Aku pasti punya banyak kenangan dengan Ayah," pikirnya dalam hati.

Untuk Ayah,

Baru saja satu bulan berlalu tanpa Ayah dan Nayla sudah rindu sekali dengan Ayah.
Dulu selama lima tahun bagaimana, ya, Nayla bisa jauh dari Ayah dan Bunda dengan hanya sesekali pulang?

Nayla rindu Ayah.


Oktober 2015


"Mengadili," Hakim Ketua berhenti sejenak sembari membetulkan kacamata yang sedikit turun pada tulag hidungnya. Suara tersebut merupakan satu-satunya suara yang dapat Nayla dengarkan saat ini. Nayla menghembuskan nafasnya, dapat dikatakan bahwa ia telah menyerahkan segala sesuatu dengan Tuhan.

"Mengabulkan gugatan Penggugat," lanjut sang Hakim. Yang berarti seorang wanita bernama Alyssandra Nayla Nindira resmi bercerai dengan seorang laki-laki yang bernama Farhandika Putra Nasution.

"Menetapkan anak bernama Naura Zakeisha Nasution, lahir empat belas Maret dua ribu tiga belas, berada di bawah hadhanah Tergugat."

Nayla terdiam pasrah. Ia sudah tahu mengenai hak asuh yang jatuh pada Farhan. Kuasa hukum di sampingnya, Ibu Wanda, menggenggam tangan kanannya sembari tersenyum. Senyum yang seolah memiliki makna bahwa semua akan baik-baik saja.

"Menghukum Penggugat untuk menyerahkan anak bernama Naura Zakeisha Nasution kepada Tergugat."

Nayla tidak buta dengan hukum. Ia tahu betul bahwa anak yang berusia dibawah dua belas tahun hak asuhnya atau hadhanah akan jatuh pada sang ibu. Namun, ia juga tahu bahwa seorang ayah juga bisa untuk memenangkan hak asuh. Banyak kasus yang demikian rupa, ditambah dengan kasus miliknya sekarang.

Farhan yang memenangkan hak asuh atas Naura.
Naura sekarang ada pada Farhan.
Naura bersama dengan Farhan.

Mata Nayla terpejam saat teringat dengan fakta tersebut.

"Memerintahkan kepada Tergugat untuk memberikan akses kepada Penggugat ..."

Nayla tak dapat lagi mendengar dan fokus pada satu-satunya suara yang sebelumnya amat sangat terdengar jelas di telinganya. Sembilan bulan Naura berada dalam kandungannya dan hingga saat ini, Naura ada dalam dekapannya hanya dalam waktu dua belas bulan sebelum anak kesayangannya ada pada Farhan.

Untuk kesekian kalinya, Nayla hanya dapat menundukkan kepalanya dan memejamkan matanya. Ia menolak untuk melihat dan membayangkan bagaimana kelak hidupnya tanpa adanya Naura di sisinya.


chapter three


"She is standing on a line between giving up and seeing how much more she can take."

She must be able to stand alone.


The present.

she is alyssandra nayla nindira


001.
Basic Information

FULL NAMEAlyssandra Nayla Nindira 
NICKNAMEAlyssandra, Alyssa, Nayla 
DATE OF BIRTHAugust 20, 1989 
PLACE OF BIRTHJakarta, Indonesia 
NATIONALITYIndonesian 
BLOOD TYPEO 
RESIDENCEJakarta, Indonesia 
PARENT(S)Irwan Fedrian Adiwibowo (father) †Rosaline Venny Irawati (mother)
SPOUSE(S)Farhandika Putra Nasution (m. 2012 - 2015) 
CHILDRENNaura Zakeisha Nasution 

002.
Physical Appearance

GENDERFemale
HEIGHT5 ft 7¾ or 172 cm
WEIGHT54 kg or 119 lbs
HAIR COLORBlack
EYE COLORDark Brown

003.
Educational Background

2007 ― 2011
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Accounting

2009 ― 2010
Erasmus School of Economics
Financial Economics

– Earned the highest GPA among students from batch 2007

– Graduated with cum laude predicate (GPA 3.94 out of 4.00)

– Graduated with double degree, Sarjana Ekonomi (S.E.) and Bachelor of Science or (B.Sc.) from Universitas Gadjah Mada and Erasmus School of Economics


004.
Occupation

Deloitte Indonesia
The Plaza Office Tower, 32nd Floor,
Jl. M.H. Thamrin Kav 28-30, Jakarta Pusat, Jakarta.

Associate (Junior Auditor)
January 2012 ― July 2012

Experienced Associate (Associate 1 & 2)
August 2012 ― July 2015

Senior Auditor
July 2015 ― November 2019

Assistant Manager
November 2019 ― now